Sesat Nalar Transisi Energi: Transisi Energi Mekanisme Clean Development Untuk Lingkungan Apa Untuk Bisinis?

Jumat, 26 Mei 2023 13:01 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Artikel ini berbicara tentang peran rezim dalam meciptakan mekanisme transisi energi dan mengawal misi mitagasi perubahan iklim dimaana negara-negara maju dan berkembang, semakin hari semakin jauh dari tindakan yang megarah pada target yang direkomendasikan oleh IPCC. Terlihat regulasi dari rezim iklim semakin longgar dan negara-negara bertindak semakin abai, dan tidak acuh.

Sesat Nalar Transisi Energi: Transisi Energi Mekanisme Clean Development Untuk Lingkungan Apa Untuk Bisinis?

Pemakaian energi lawas yang berbasis fosil dan batubara untuk ragam aktivitas manusia, dikatakan mulai bergeser ke arah baru yang ramah dan bersih dengan menggunakan energi terbaharukan atau disebut juga energi yang lebih bersahabat dengan lingkungan. Riak dari pergeseran ini tercatat mencuat semenjak adanya laporan dari para ilmuan, salah satunya seperti Svant Arrhenius pada April 1896 yang meneliti hubungan Temperatur Bumi dan Gas Karbon Dioxida (Co2) dengan teori Greenhouse. Dalam studinya Svant menyatakan bahwa ada peningkatan konsentrasi Co2 yang menyebabkan naiknya suhu bumi dan akan naik dua kali lipat akibat aktivitas manusia lewat pembakaran batu bara. Secara besar Svant menilai suhu permukaan bumi dapat meningkat 2-3 derajat Celsius. Keadaan ini memicu terjadinya banyak masalah iklim dan lingkungan seperti kekeringan dari kemarau panjang, badai, badai pesisir yang lebih sering, banjir dan persoalan lingkungan lain yang mengancam keberlangsungan hidup manusia dan makhluk bumi lain.

Pernyataan Svant kemudian menjadi konsensus saintifik yang diperkuat ilmuan lain seperti Gay Callendar dan Gilbert Plass di tahun 1950 menyatakan bahwa aktivitas industrialisasi akan meningkatkan lebih dari 1 derajat Celsius per abad. Hasil penemuan ini dan penemuan dari pihak lain terus dikaji hingga masuk ke meja politik internasional di Stockholm oleh United Nation pada Conference on The Human and Environment tahun 1972. momentum ini menandai persoalan iklim telah menjadi perhatian sekaligus tanggung jawab baru oleh United Nations (UN) dan awal mula wacana tentang peralihan sumber daya energi yang sampai kini terus dilantangkan. Semenjak masuk ke dalam agenda politik internasional UN mendirikan dua komponen yang satunya bertugas memperoleh data aktual dari kondisi iklim yaitu Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dan yang satunya lagi adalah rezim United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) yang mengkonstitusi kebijakan iklim lewat pertemuan tahunan yang disebut sebagai konferensi para pihak atau Conference of parties (COP). COP ini diadakan untuk mencari solusi menahan laju naiknya suhu permukaan bumi lebih dari 2.0 derajat selsius sesuai dengan kalkulasi IPCC.

Lebih dari tiga dekade rezim iklim berdiri dan retorika yang menyoal perubahan iklim dan upaya mitigasinya lewat transformasi energi belum menampilkan kemajuan yang signifikan dan malah menujukan banyak kontradiksi. Sampai sejauh ini tindakan dari rezim iklim dan negara-negara yang menyebut diri mereka party belum menunjukan ketegasan dalam mengentaskan persoalan ini. Rezim iklim berulang kali gagal dalam mendorong negara maju sebagai pihak paling bertanggung jawab atas persoalan pemanasan global karena menghasilkan emisi karbon paling besar, tapi abai dengan dampak lingkungann dan tidak taat melaksanakan komitmen mereka.

Pada COP ke 3 tahun 1997 yang menghasilkan Protokol Kyoto yang bersifat mengikat, para pihak diberi kewajiban untuk melakukan tindakan pemangkasan emisi karbon lewat tiga menaknisme fleksibel yang ketiga mengarah pada transisi energi yaitu Clean Development Mechanism (CDM), Join Implementation (JI) dan Emission Trade (ET) yang diimplementasikan pada tahun 2005. Tapi dalam kesepakatan ini terdapat kecacatan dimana rezim gagal mengikat Amerika Serikat yang waktu itu menjadi penyumbang emisi terbesar dunia.

Di sini, isu perubahan iklim dengan terang telah menciptakan komoditas yang disebut Carbon Offset lewat mekanisme bersih atau CDM dan ET yang diperdagangkan dalam Carbon Market. Sebagai sebuah komoditas, prakteknya Carbon Offset dapat diperdagangkan oleh korporasi, negara, dan individu yang melampaui ambang batas ketetapan pengeluaran karbon dengan dan juga memberikan kompensasi di wilayah lain yang telah melakukan reduksi emisi pada negara berkemabang. Offset juga diklaim sebagai program yang dapat membantu project mitigasi iklim di negara-negara berkembang dengan kompensasi tersebut. Pada tahun 2005 EU Emission Trading Scheme (ETS) menawarkan harga yang dinilai pantas untuk tiap ton pengeluaran karbon yang melewati ambang batas seharga 122 milliar per ton agar dapat mendukung kegiatan tranformasi energi, namun, Amerika Serikat menawarkan 22 milliar untuk per ton karbon. ETS menilai penawaran Amerika Serikat tidak akan mendukung terjadinya proses transisi energi bersih.

Skema CDM masih jauh kepastian efektivitas dilapangan karena mekanisme ini tidak hanya melayani sektor lingkungan, tapi juga melayani kegiatan bisinis dengan pendekatan Neoliberal. Contohnya bagi para negara kaya atau korporasi tertentu membayar kuota karbon atau memberikan kompensasi pada negara lain yang memiliki status emisi rendah adalah hal yang mudah dan instan daripada negara atau korporasi tersebut bertransformasi menuju energi yang baru dan bersih. Alih-alih melakukan transisi energi, negara kaya dan korporasi terus menemukan cela memanipulasi diri seolah telah menjalankan tugas mitigasi iklim dengan menalar persoalan lingkungan menggunakan pandangan pasar dimana pandangan ini berasumsi bahwa cara terbaik untuk melindungi lingkungan adalah dengan memberi harga pada jasa alam, menetapkan hak kepemilikan, dan memperdagangkan jasa ini dalam pasar global lewat skema offset CDM.

Program ini juga tidak bisa menjamin kepatuhan negara-negara dan aktor lain untuk berjalan sesuai arahan para ilmuan IPCC. Terdapat tiga contoh besar yang menggambarkan kurangnya efektivitas dan kepatuhan di lapangan. Pertama terlihat pada bocoran dokumen UN sebelum final accord pada COP 15 Copenhagen 2009 yang menampilkan gap antara janji dan praktek pengurangan emisi negara-negara setelah kesepakatan Kyoto demi menjaga suhu permukaan bumi tetap berada di bawah 2 derajat selsius. Pelaksanaan COP 15 tampil seperti sebuah film drama. 193 negara hadir di Copenhagen tanpa membawa tujuan dan arah yang jelas untuk aksi mengurangi emisi jengka pendek ataupun panjang dan pembahasan untuk treaty selanjutnya. Dijelaskan oleh Richard Peet dalam buku Global Political Ecology (2011) negara-negara industry dengan emisi besar seperti China, India, Rusia, Amerika Serikat, dan Brazil pada COP Copenhagen adalah negara yang tidak menampakkan keseriusan untuk memimpin jalannya konferensi. Rezim gagal dalam bekerjasama dengan negara industry maju yang akibatnya menciptakan kesepakatan yang tidak mengikat pada COP 15 dan Paris Agreement 2015 pada COP 21 yang hanya menghasilkan kesepakatan aksi yang sukarela dimana negara-begara bebas menentukan upaya mitigasi karbon mereka secara mandiri dan sangat mungkin untuk keluar rekomendasi dari IPCC.

Kedua, taka da sanksi sama sekali bagi negara yang keluar dari kesepakatan iklim. Amerika Serikat contohnya, selama terbentuknya rezim iklim Amerika Serikat sudah dua kali menolak ratifikasi kesepakatan iklim yaitu Protokol Kytoto dan Perjanjian paris. Penolakan ini dilakukan oleh dua presiden yang datang dari partai Rapublik, George Bush Junior dan Donald Trump yang menggunakan rasionalisasi yang sama yaitu dengan menganggap bahwa sistem mitigasi bencana iklim tidak adil, rezim iklim didesain untuk melemahkan ekonomi Amerika, isu perubahan iklim adalah hoax dan seterusnya. Khususnya Trump, dengan dalil populis Trump meniadakan Administrasi Obama Clean Power Plan, dan membolehkan para penambang untuk melakukan limbah hasil tambang langsung ke sungai.

Ketiga, adalah upaya pemberian insentiv terhadap negara pemilik hutan luas seperti Kongo, Indonesia, Brazil dan lain-lain yang diklaim dapat mendorong upaya mitigasi deforestasi dan transisi energi. Menurut Environmental Protection Agency (EPA) sebuah badan yang mengurus persoalan lingkungan di Amerika Serikat menyatakan deforestasi merupakan sektor penyumbang emisi gas karbon atau gas rumah kaca terbesar setelah sektor industry energi listrik dan transportasi. Pada tahun 2010 Indonesia dan Norwegia mendandatangani Letter of Intent Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Pada kesepakatan ini Indonesia berjanji untuk mengurangi angka penyusutan hutan akibat deforestasi. Apabila Indonesia berhasil melakukan pemangkasan angka pada sektor deforestasi sampai pada tahap pengujian yang ditetapkan maka pemerintah Norwegia akan memberikan dana hibah sebesar 1 miliiar dollar. Program in terdiri dari tiga tahap persiapan, transformasi, dan implementasi penuh dari tahun 2010-2017. Pada text LOI 2010 pelaksanakan program ini disyaratkan untuk membangun komponen pendukung program seperti Measurement, Reporting, Verification (MRV) sebuah aksi pengumpulan data, Forest Reference Emission Level (FREL) atau tingkat rujukan emisi hutan, Safeguard Information System (SIS) untuk melakuakn pemantauan pelaksanakan REDD dan menjadi wadah laporan untuk perkembangan REDD, dan Badan Layanan Umum (BLU) yang ditugaskan untuk menjadi sebuah Lembaga yang menampung keungan REDD+. Pada tahap persiapan 2008-2009 pemerintah Norwegia telah menurunkan dana pendukung sebesar 56 juta USD.

Setelah diberlakukan pada tahun 2010 program ini dianggap gagal karena pelaksanaannya yang tidak merata, lamban, dan tidak transparan serta kolaborasi kedua pihak yang tidak tampak. Di Jambi REDD mengancam kehidupan masyarakat yang hidup bergantung kepada hutan. PT REKI yang memegang usaha REDD di sana terus berkonflik dengan warga setempat karena dianggap menyerobot dan menggangu upaya konservasi. Di Kalimantan REDD tidak mampu mengahambat tumbuh suburnya lahan sawit dan pertambangan. Di Papua dan Maluku REDD menurut media lokal baru akan bergerak meskipun dokumen pendukung tingkat provinsi seperti Strategi Rencana Aksi Provinsi sudah lama tersedia. Namun, secara tiba-tiba pada tahun 2021 pemerintah Indonesia mengklaim telah merealisasikan pengurangan emisi sebesar 11,2 juta ton CO2 pada tahun 2016/2017, yang teriverifikasi oleh lembaga internasional dimana Indonesia telah melaporkan bahwa telah mencapai kemajuan yang signifikan selama 20 tahun yang telah dicapai pada tahun 2020 dimana Indonesia berhasil mengendalikan luas kebakaran hutan yang berdampak besar terhadap masalah perubahhan iklim. Klaim ini bertolak belakang dengan data deforestasi Global Forest Watch yang menampilkan angka deforestasi berbeda sepanjang tahun 2010-2021 dengan versi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penelitian Wong dan Arild Angelsen juga menyebutkan di tahun 2016/2017 tidak ada Lembaga independent di lapangan yang menilai dan memverifikasi pengeluaran emisi hutan Indonesia sehingga membuat negara dapat melakukan pemilihan referensi sendiri tekait FREL.

Faktor penyebab perubahan iklim dan pemanasan global sudah lama diketahui, tapi sejauh ini upaya yang dilakukan negara-negara belum mengarah pada kemajuan yang signifakan sekalipun serangkain metode dan mekanisme sudah tersusun. Sumpah negara-negara maju untuk memotong pengeluaran emisi sekian persen belum dapat terpenuhi. Rezim iklim yang bertugas untuk mengawal negara melaksanakan tanggung jawab ekologis, terlihat seperti anjing ompong dan isu perubahan iklim diubah menjadi lahan bisnis. Dengan cara sukarela membuat negara-negara juga terkesan “suka-suka” dalam pelaksanaaanya. Banyak negara pihak yang abai karena terus menengok persoalan ini dengan pandangan ekonomi, meletakkan persoalan pada posisi yang kesekian dari banyaknya perosoalan. Para aktor individu seperti pengusaha yang memiliki kekuasaan dan profit (power) menggeliat mencari cara untuk mempertemukan para ilmuan dengan kesempatan politik. Seperti pada tahun 2007 Sir Richard Branson seorang konglomerat Inggris dalam dunia transportasi udara menolak bertanggung jawab atas sebab yang dihasilkan industrinya dan malah mendorong para ilmuan untuk menciptakan sebuah cara mengahapus jejak karbon dari industrinya dengan imbalan 25 miliar dolar.

Semakin jauh dari aksi mitigasi perubahan iklim, semua kegagalan ini jelas karena menempatkan pandangan ekonomi dalam persoalan lingkungan padahal persepsi ekonomi dan bisnis tidak melihat adanya urgensi untuk melakukan transisi sumber daya energi. Pada akhirnya kelompok-kelompok masyarakat yang hidup digaris kemiskinan, yang tinggal di lokasi rawan bencana tidak akan mempu berlindung dari bencana artifisial yang disebabkan oleh perubahan iklim seperti gelombang panas, badai pesisir, banjir, dan tanah longsor yang akan berlangsung semakin intens di masa-masa mendatang. Semua ini karena menganggap setiap masalah dapat diselesaikan dengan cara bisnis dan keuntungan ekonomi suatu negara seolah dapat mengganti dan membayar kerugian ekologi dan dampak sosial dari bencana perubahan iklim.

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sumber

Robyn Eckersley, The Green State; Rethinking of Democracy and Sovereignty (2004)

IPCC, Climate Change: The 1990 and 1992 IPCC Assessments (1992)

Peet Richard, Paul Robbins, and Michael Watts, Global Political Ecology (2011)

Lorraine Eliot, The Global Politics of The Environment (Second Edition) (2004)

UNFCCC, The Kyoto Protocol Mechanism (2010)

UNFCCC, Current Status and outcomes of REDD negotiations under UNFCCC (2011)

Letter of Intent between the Government of the Kingdom of Norway and the Government of the Republic of Indonesia on “Cooperation on Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and Forest Degradation”. (2010)

Jonas I Hein, Political Ecology of REDD+ Indonesia (2019)

Sulistya Ekawati dan Subarudi, Policies affecting the implementation of REDD+ in Indonesia (cases in Papua, Riau and Central Kalimantan) (2019)

 

Dwisatrio, Bimo; Zuraidah Said, Anggalia Putri Permatasari, Cynthia Maharani, Moira Moeliono, Arief Wijaya, Aditya Awal Lestari, Jennie Yuwono, Pham Thu Thuy, The Context of REDD+ in Indonesia Drivers, Agents & Institutions

Primary Forest Loss in Sumatera Barat, Global Forest Watch, https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN/30

RBP Book; GCF task Force

https://gcftf.org/wp-content/uploads/2020/12/RBP_Booklet_20200512_ENG.pdf

Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Knowledge Center Perubahan Iklim (2017)

http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/aksi/redd

The Guardian, The Father of Climate Change https://www.theguardian.com/environment/2005/jun/30/climatechange.climatechangeenvironment2

Climate Copernicus, Record Breaking Temperature for June (2019)

https://climate.copernicus.eu/record-breaking-temperatures-june

link web yang dapat diakses terkait SRAP REDD+ daerah Kalteng, Jambi dan Sumatera Barat: https://ditjenppi.menlhk.go.id/21-reddplus/134-rencana-aksi-strategi-daerah-redd-kalimantan-tengah.html https://adriawanperbatakusuma.files.wordpress.com/2014/08/main-report-srap-redd-jambi-final2.pdf https://www.academia.edu/36181482/Strategi_Rencana_Aksi_Provinsi_Sumatera_Barat_untuk_Implementasi_REDD_

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua